BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Kodifikasi Hadits
Kodifikasi atau tadwin hadis, artinya yaitu pencatatan,
penulisan, atau pembukuan hadis. Pencatatan telah
dilakukan oleh para sahabat sejak zaman Rasul SAW.
Kegiatan
ini dimulai pada masa pemerintahan islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abd
al-Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayah), melalui
instruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amar bin Hazm (gubernur madinah)
dan para ulama madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para
penghafalan.
Khalifah
menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hamz agar mengumpulkan
hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari(murid kepercayaan
Siti Aisyah) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Instruksi yang sama ia
tunjukan pula kepada Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang dinilainya sebagai orang
yang lebih banyak mengetahui hadist dari pada yang lainnya.
Abu
Bakar bin Hazm berhasil menghimpun hadis dalam jumlah yang menurut para ulama
kurang lengkap. Sedang bin Syihab az-Zuhri berhasil menghimpunnya yang dinilai
para ulama lebih lengkap. Akan tetapi sayang sekali karya kedua tabi’in ini
lenyap, tidak sampai diwariskan kepada generasi sekarang.
Umat
Islam sangat memperhatikan hadits Nabi baik secara periwayatan, penghafalan dan
pengkajian, sehingga terpelihara warisan agama ini sebagai sumber kedua setelah
Al-Qur’an. Ada dua hal pokok yang mendasari semua itu:
1.
Dorongan
Agama
Jika umat lain begitu perhatian terhadap
warisan pemikiran mereka, naka umat yang menganut agama Islam dan mengikuti
risalah Muhammad saw. juga tidak kalah dalam memelihara warisan yang didapatkan
dari Nabi saw. dengan cara periwayatan, menukil, hafalan dan menyampaikannya
serta mengamalkan isinya, karena itu bagian dari eksistensinya, dan hidup umat
ini tiada berarti tanpa dengan agama. Oleh karenanya Allah mewajibkan dalam
agama untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya, menjalani semua apa yang dibawa
beliau, dan meneladani kehidupannya. Allah
swt. berfirman:
“Maka
demi tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.”(An-Nisa’: 65)
2.
Dorongan
Sejarah
Umat Islam yang telah
merobohkan pilar kemusyrikan, dan mendobrak benteng Romawi dan Persia,
menghadapi musuh-musuh bebuyutan, tahu benar bahwa kekuatan umat ini terletak
pada kekuatan agamanya, dan tidak dapat dihancurkan kecuali dari agama itu
ssendiri, dan salah jalannya adalah pemalsuan terhadap hadits. Dari sini, kaum
muslimin mendapat dorongan yang kuat untuk meneliti dan menyelidiki periwayatan
hadits, dan mengikuti aturan-aturan periwayatan yang benar, agar mereka dapat
menjaga warisan yang agung ini dari penyelewengan dan penyusupan terhadapnya
sehingga tetap bersih, tidak dikotori oleh aib maupun oleh keraguan. Dan
diantara antara-antara yang diberlakukan pada masa sahabat adalah:
1.
Mengurangi
periwayatan dari Rasulullah
Mereka khawatir dengan
banyaknya riwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan
menyebabkan kebohongan terhadap Rasulullah saw. dan akan mendapatkan ancaman
yang sangat keras. Mereka juga khawatir dengan memperbanyak periwayatan akan
menyibukkan manusia terhadap As-Sunnah dan berpaling dari Al-Qur’an.
2.
Ketelitian
dalam periwayatan
Al-Hafizh Adz-Dzahabi
berkata,”Abu Bakar adalah orang yang paling berhati-hati dalam menerima hadits.
Diriwayatkan oleh Ibnu Syihab dari Qubaishah bin Dzu’aib bahwa ada seorang
nenek datang kepada kepada Abu Bakar agar mendapatkan bagian warisan. Maka dia berkata, ‘Aku tidak mendapatkan bagianmu
sedikitpun dalam Al-Qur’an, dan aku tidak pernah mengetahui Rasulullah
menyebutkan hal itu,’ kemudian dia menanyakan kepada para sahabat. Mughirah
berkata, ’Aku mendengar Rasulullah memberikan bagian seperenam.’ Abu Bakar
bertanya, ‘Apakah ada orang lain bersamamu?’ Lalu Muhammad bin Maslamah
bersaksi seperti itu. Kemudian Abu Bakar menjalankan dan memberikan bagian
kepada nenek tersebut.[1]
Hal ini bukanlah
berarti bahwa para sahabat mensyarat-kan untuk diterimanya hadits harus diriwayatkan
oleh dua orang atau lebih, atau dengan adanya saksi terhadap perawi. Akan
tetapi hal ini menerangkan adanya ketelitian dan kewaspadaan para sahabat dalm
menerima riwayat karena khawatir terjadi kesalahan dalam periwayatan, juga
mendorong kepada ketepatan hafalan dan ketelitian, serta untuk menjaga agama
sehingga tidak ada seorang pun yang berkata-kata terhadap Rasulullah dari apa
yang tidak beliau ucapkan.
3.
Kritik
Terhadap Riwayat
Yaitu dengan cara
memaparkan dan membandingkan riwayat itu dengan Al-Qur’an, jika bertentangan
maka mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya.
Dari sinilah, maka
muncul ilmu untuk menimbang para perawi hadits: Al-Jahr wa At-Ta’dil dan Tarikh
Ar-Ruwwat (Sejarah para perawi). Kemudian ilmu hadits terbagi menjadi dua
pembahasan pokok:
1.
Ilmu
hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang penukilan
sabda-sabda Nabi, perbuatan, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat
beliau; secara detail dan dapat dipertanggungjawabkan.
2.
Ilmu
hadits dirayah adalah satu ilmu yang mempunyai beberapa kaidah (patokan), yang
dengan kaidah-kaidah itu dapat diketahui keadaan perawi (sanad) dan yang
diriwayatkan (marwiy) dari segi diterima atau ditolaknya.
1.
Latar
Belakang Pemikiran Munculnya Usaha Kodifikasi Hadits
Ada
tiga hal pokok mengapa Khalifah Umar bin Abd al-Aziz mengambil kebijaksanaan
seperti ini.
Pertama,
ia khawatir hilangnya hadits-hadits dengan meninggalnya
para ulama dimedan perang. Ini faktor utama sebgaimana dapat dilihat pada surat
yang dikirimkan kepada para ulama lainnya.
Kedua,
ia khawatir akan tercampurnya antara hadits-hadits yang benar dengan
hadits-hadits palsu.
Ketiga,
bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam. Sementara kemampuan para
tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan
adanya usaha kodifikasi ini.
2. Pembukuan Hadits Pada Kalangan Tabi’in dan Tabi’at tabi’in Setelah Ibn Syihab
az-Zuhri
Para
ulama setelah az-Zuhri, ada ulama ahli hadits
yang berhasil menyusun kitab tanwin yang bisa diwariskan pada generasi sekarang
yaitu Malik bin Anas (93-179H) dimadinah. Dengan kitab hasil karyanya yang
bernama al-Muwatha. Kitab tersebut selesai disusun pada tahun 143H dan para
ulama menilainya sebagai kitab tanwin yang pertama.
B. Masa Seleksi,
Penyempurnaan dan Pengembangan Sistem Penyusunan Kitab-kitab Hadist
1. Masa Seleksi
Hadits
Yang dimaksud dengan
masa seleksi disini ialah masa upaya para mudawwin hadis yang melakukan seleksi
secara ketat sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil
melahirkan suatu kitab tadwin.
Pada masa ini para
ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya melalui
kaidah-kaidah yang ditetapkannya.
2. Kitab-Kitab Induk
Yang Enam (al-Kutub as-Sittah)
Satu
persatu kitab telah berhasil diseleksi ketat itu muncul pada masa ini. Ulama yang pertama
kali berhasil menyusun kitab tersebut ialah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail
bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardizbahal-Bukhari yang terkenal dengan
“al-Bukhari” (194-252H) dengan kitabnya al-Jami ‘ash-Shahih. Kemudian
muncul Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Kusairi an-Naisaburi yang dikenal
dengan “muslim” (204-261H).
Menyusul
kemudian Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq al-Sijistani (202-275H),
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmudzi (200-279H) dan Abu Abdillah bin
Yazid bin Majah (207-273H). hasil karya keempat ulama ini dikenal dengan kitab
“as-Sunan”.
Secara
lengkap kitab-kitab yang enam diatas dapat diurutkan sebagai berikut:
1. Al-Jami ash-Shahi’h susunan al-Bukhari;
2. Al-jami ash-Shahih susunan Muslim;
3. As-Sunan susunan Abu Daud;
4. As-Sunan susunan at-Turmudzi;
5. As-Sunan susunan an-Nasa’I; dan
6. As-Sunan susunan bin Majah
3.
Masa Pengembangan dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab-kitab Hadis
Penyusunan
kitab-kitab pada masa kini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa
variasi pen-tadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada. maka setelah
berjalannya beberapa saat dari munculnya kitab as-Sittah, al-Muwaththa malik
bin Anas, dan al-Musnad Ahmad bin Hambal, para ulama mengalihkan perhatiannya
untuk menyusun kitab-kitab jawani (mengumpulkan kitab-kitab hadis menjadi satu
karya), kitab syarah (kitab komentar dan uraiannya), kitab mukhtashar (kitab
ringkasan), kitab men-takhrij (mengkaji sanad dan mengembalikan kepada sumbernya),
menyusun kitab atharaf (menyusun pangkal-pangkal suatu hadist sebagai petunjuk
kepada materi hadist secara keseluruhan) dan penyusunan kitab hadis untuk
topik-topik tertentu.
Masa
perkembangan hadis yang disebut terakhir ini terbentang cukup panjang dari
mulai abad keempat hijrah terus berlangsung beberapa abad berikutnya. Dengan
demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan islam,
yakni fase pertengahan dan fase modern.
C.
Kitab Al-Muwaththa’
Al-muwaththa
merupakan kitab paling tua yang sampai ketangan kita. Kitab ini ditulis oleh
Imam Malik ibn Anas al-Ashbahy atas perintah Al-Manshur.
Hadis-hadis
Al-muwaththa dipandang shahih oleh Malik, berdasarkan pendapatnya memegangi
hadits-hadits mursal dan munqhati
dalam hadits-hadits yang keadaannya mursal atau munqhati atau mu’dhal dalam
Al-Muwaththa telah didapati sanadnya yang muttashi diluar Al-Muwaththa itu oleh
ulama yang berusaha memperhatikan hadits-hadits riwayat malik. Hanya
empat buah hadis saja yang tidak dapat sanadnya yang mutthashil diluar Al-Muwaththa.
Menurut
perhitungan Al-Abhary, jumlah hadis-hadis dalam Al-Muwaththa baik marfu maupun
mauquf ataupun
maqthu ada 1.726 buah. Yang musnad diantaranya berjumlah 600 buah, yang mursal
228 buah, yang mauquf berjumlah 613 buah, yang maqthu berjumlah 285 buah.
Banyak
sekali ulama yang memberikan perhatiannya kepada Al-Muwaththa. Inilah kitab
yang dipelajari oleh Asy-Syafi’y, Muhammad ibn al-Hasan, Ibnu Wahab dan
Al-Qasim, dua orang ulama malikiyah yang terkenal. Kitab ini dipelajari juga
oleh Yahya ibn Said Al-Qaththan, Abd ar-Rahman ibn Mahdy, Abd ar-Razzaq ibn
Humam. Khalifah yang mempelajari kitab ini, diantaranya Harun ar-Rasyid,
Al-Amin, Al-Ma’mun.
Diantara
persyarahnya ialah Ibnu Abdi
al-Barr dalam kitabnya At-Tahmid,
Ibnu Araby dalam
kitabnya Al-Qabas. Dan kemudian disyarahkan lagi oleh As-Sayuthy dalam kitabnya
Kasyf al-Mughaththa dan diringkaskan syarahnya itu dalam kitab Tanwir al-Hawalik.
Diantara yang
mensyarahkan al-Muwaththa dalam syarah yang agak besar ialah Az-Zarqany dan
Ad-Dahwaly dalam kitab Al-Musawwa.
Kitab
Al-Muwaththa telah dicetak dengan typografi yang baik dengan diberikan ta’liq
yang diringkas serta diterangkan ahli hadits
yang turut meriwayatkan hadis dalam Al-Muwaththa itu oleh Al ustad Muhammad Fuad
Abd Al-Baqy.
Diantara
mukhtasarnya ialah Mukhtashar
al-Khaththaby dan Mukhtashar
Abu al-Walid al-Bajy.
D.
Kitab Al-Mustadrak
Kitab
mustradak ialah kitab yang membukukan hadis shahih yang tidak dibukukan oleh
Al-Bukhary dan muslim dalam kitab shahihnya. Kitab mustradak yang terkenal sekali
dalam kalangan umat islam ialah Al-Mustadrak. Al-Mustadrak ini telah diringkas
oleh Az-Zahaby dengan menerangkan hadis-hadis yang sebenarnya dha’if atau
munkar. Dalam Al-Mustradak terdapat sejumlah 100 hadis maudhu.
E.
Kitab Mustakhraj
Kitab-kitab
Mustakhraj ialah kitab-kitab yang mengambil hadis dari sebuah kitab ulama hadis
seperti kitab Al-Bukhary, lalu menyebut satu persatu dengan sanadnya sendiri.
Kitab yang paling banyak dibuat kitab mustrakhraj-nya ialah shahih Al-Bukhary
dan shahih Muslim.
F.
Kitab Athraf
Yaitu setiap kitab yang hanya menyebutkan sebagian hadits yang dapat
menunjukan lanjutan hadits yang dimaksud, kemudian mengumpulkan seluruh
sanadnya, baik sanad satu kitab ataupun sanad dari beberapa kitab. Para penulis
biasanya menyusun urutannya berdasarkan musnad para sahabat dengan susunan nama
sesuai huruf-huruf hijaiyah, lalu menyebutkan pangkal hadits yang dapat
menunjukan ujungnya sepeti hadits nabi: “Kullukum ra’in..”, “Buyinal Islamu’Ala
Khamsin..”, dan Al-Imanu Bidh’un wa Sab’una Syu’batan..” , demikian seterusnya.
Diantara
kitab-kitab Athraf ialah:
1.
Athraf
ash-Shahihaini, karya Al-Hafizh Ibrahim ibn Muhammad ibn Ubaid ad-Dimasyqy.
2.
Athraf
ash-Shahihaini karya Abu Muhammad Khalaf
ibn Muhammad al-Wasithy, kitab ini lebih baik dari pada yang pertama.
3.
Athraf
ash-Shahihaini, karya Abu Nu’aim Ahmad ibn Abdullah al-Ashbahany (430 H)
4.
Athraf
ash-Shahihaini, karya Al-Hafizh Al-Asqalany
5.
Al-Asyraf
‘ala Ma’rifah al-A’thraf, sebuah kitab athraf terhadap Sunan al-Arba’ah, karya
Abu al-Qasim Ali ibn al-Hasan yang terkenal dengan nama Ibnu Asakir ad-Dimasqy
(571 H)
6.
Athraf
al-Ghara’ib wal-Afrad, karya Muhammad ibn Thahir Al Maqdisy (570 H), sebuah
kitab athraf terhadap Kutub as-Sittah. Kitab ini kurang baik susuannya. Telah ditalkhishkan
oleh Muhammad ibn Ali ad-Dimasqy (765 H)
7.
Athraf
as-Sittah, karya Al-Hafizh Al-Mizzy, yang telah diikhtisarkan oleh Az-Zahaby
8.
Ith-haf
al-Maharah bi Athraf al-‘Asyrah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, sebuah
kitab athraf terhadap kitab Al-‘Asyrah.
Sebagaimana
dalam periode keenam muncul kitab-kitab athraf yang disusun oleh tokoh-tokoh
hadits, maka dalam periode ini tergerak pula beberapa orang ulama menyusun
kitab-kitab athraf itu, seperti :
1.
Ith-haf
al-Maharah bi Athraf al-‘Asyrah, oleh Ibnu Hajar al-Asqalany.
2.
Athraf
al-Musnad al-Mu’tali bi Athraf al-Musnad al-Hanaby, oleh Ibnu Hajar.
3.
Athraf
al-Ahadits al-Mukhtarah, oleh Ibnu Hajar al-Asqalany.
4.
Athraf
al-Musnad al-Firdaus, oleh Ibnu Hajar.
5.
Athraf
as-Shahih Ibni Hibban, oleh Al-Iraqy.
6.
Athraf
al-Masanid al-‘Asyrah, oleh Syihabuddin al-Bushiry.
Inilah
beberapa usaha penting oleh ulama untuk mengumpulkan hadits, menerbitkannya.
Dan dalam periode inilah lahir kitab-kitab syarah hadits yang besar-besar,
seperti Fath al-Bari, ‘Umdat al-Qari, Irsyad as-Sari dan lain-lain.
[1] Tadzkiratul
Huffazh hal. 2. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, Abu Dawud,
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.