Minggu, 18 November 2012

ulumul hadits


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Masa Kodifikasi Hadits
Kodifikasi atau tadwin hadis, artinya yaitu pencatatan, penulisan, atau pembukuan hadis. Pencatatan telah dilakukan oleh para sahabat sejak zaman Rasul SAW.
Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayah), melalui instruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amar bin Hazm (gubernur madinah) dan para ulama madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalan.
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hamz agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari(murid kepercayaan Siti Aisyah) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Instruksi yang sama ia tunjukan pula kepada Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadist dari pada yang lainnya.
Abu Bakar bin Hazm berhasil menghimpun hadis dalam jumlah yang menurut para ulama kurang lengkap. Sedang bin Syihab az-Zuhri berhasil menghimpunnya yang dinilai para ulama lebih lengkap. Akan tetapi sayang sekali karya kedua tabi’in ini lenyap, tidak sampai diwariskan kepada generasi sekarang.
Umat Islam sangat memperhatikan hadits Nabi baik secara periwayatan, penghafalan dan pengkajian, sehingga terpelihara warisan agama ini sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an. Ada dua hal pokok yang mendasari semua itu:
1.         Dorongan Agama
Jika umat lain begitu perhatian terhadap warisan pemikiran mereka, naka umat yang menganut agama Islam dan mengikuti risalah Muhammad saw. juga tidak kalah dalam memelihara warisan yang didapatkan dari Nabi saw. dengan cara periwayatan, menukil, hafalan dan menyampaikannya serta mengamalkan isinya, karena itu bagian dari eksistensinya, dan hidup umat ini tiada berarti tanpa dengan agama. Oleh karenanya Allah mewajibkan dalam agama untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya, menjalani semua apa yang dibawa beliau, dan meneladani kehidupannya. Allah  swt. berfirman:
“Maka demi tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”(An-Nisa’: 65)
2.        Dorongan Sejarah
Umat Islam yang telah merobohkan pilar kemusyrikan, dan mendobrak benteng Romawi dan Persia, menghadapi musuh-musuh bebuyutan, tahu benar bahwa kekuatan umat ini terletak pada kekuatan agamanya, dan tidak dapat dihancurkan kecuali dari agama itu ssendiri, dan salah jalannya adalah pemalsuan terhadap hadits. Dari sini, kaum muslimin mendapat dorongan yang kuat untuk meneliti dan menyelidiki periwayatan hadits, dan mengikuti aturan-aturan periwayatan yang benar, agar mereka dapat menjaga warisan yang agung ini dari penyelewengan dan penyusupan terhadapnya sehingga tetap bersih, tidak dikotori oleh aib maupun oleh keraguan. Dan diantara antara-antara yang diberlakukan pada masa sahabat adalah:
1.        Mengurangi periwayatan dari Rasulullah
Mereka khawatir dengan banyaknya riwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan menyebabkan kebohongan terhadap Rasulullah saw. dan akan mendapatkan ancaman yang sangat keras. Mereka juga khawatir dengan memperbanyak periwayatan akan menyibukkan manusia terhadap As-Sunnah dan berpaling dari Al-Qur’an.
2.        Ketelitian dalam periwayatan
Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata,”Abu Bakar adalah orang yang paling berhati-hati dalam menerima hadits. Diriwayatkan oleh Ibnu Syihab dari Qubaishah bin Dzu’aib bahwa ada seorang nenek datang kepada kepada Abu Bakar agar mendapatkan bagian warisan. Maka dia  berkata, ‘Aku tidak mendapatkan bagianmu sedikitpun dalam Al-Qur’an, dan aku tidak pernah mengetahui Rasulullah menyebutkan hal itu,’ kemudian dia menanyakan kepada para sahabat. Mughirah berkata, ’Aku mendengar Rasulullah memberikan bagian seperenam.’ Abu Bakar bertanya, ‘Apakah ada orang lain bersamamu?’ Lalu Muhammad bin Maslamah bersaksi seperti itu. Kemudian Abu Bakar menjalankan dan memberikan bagian kepada nenek tersebut.[1]
Hal ini bukanlah berarti bahwa para sahabat mensyarat-kan untuk diterimanya hadits harus diriwayatkan oleh dua orang atau lebih, atau dengan adanya saksi terhadap perawi. Akan tetapi hal ini menerangkan adanya ketelitian dan kewaspadaan para sahabat dalm menerima riwayat karena khawatir terjadi kesalahan dalam periwayatan, juga mendorong kepada ketepatan hafalan dan ketelitian, serta untuk menjaga agama sehingga tidak ada seorang pun yang berkata-kata terhadap Rasulullah dari apa yang tidak beliau ucapkan.
3.        Kritik Terhadap Riwayat
Yaitu dengan cara memaparkan dan membandingkan riwayat itu dengan Al-Qur’an, jika bertentangan maka mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya.
Dari sinilah, maka muncul ilmu untuk menimbang para perawi hadits: Al-Jahr wa At-Ta’dil dan Tarikh Ar-Ruwwat (Sejarah para perawi). Kemudian ilmu hadits terbagi menjadi dua pembahasan pokok:
1.         Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau; secara detail dan dapat dipertanggungjawabkan.
2.         Ilmu hadits dirayah adalah satu ilmu yang mempunyai beberapa kaidah (patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu dapat diketahui keadaan perawi (sanad) dan yang diriwayatkan (marwiy) dari segi diterima atau ditolaknya.

1.         Latar Belakang Pemikiran Munculnya Usaha Kodifikasi Hadits
Ada tiga hal pokok mengapa Khalifah Umar bin Abd al-Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini.
Pertama, ia khawatir hilangnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama dimedan perang. Ini faktor utama sebgaimana dapat dilihat pada surat yang dikirimkan kepada para ulama lainnya.
Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara hadits-hadits yang benar dengan hadits-hadits palsu.
Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam. Sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.

2.    Pembukuan Hadits Pada Kalangan Tabi’in dan Tabi’at tabi’in Setelah Ibn Syihab az-Zuhri
Para ulama setelah az-Zuhri, ada ulama ahli hadits yang berhasil menyusun kitab tanwin yang bisa diwariskan pada generasi sekarang yaitu Malik bin Anas (93-179H) dimadinah. Dengan kitab hasil karyanya yang bernama al-Muwatha. Kitab tersebut selesai disusun pada tahun 143H dan para ulama menilainya sebagai kitab tanwin yang pertama.

B.   Masa Seleksi, Penyempurnaan dan Pengembangan Sistem Penyusunan Kitab-kitab Hadist
1.    Masa Seleksi Hadits
Yang dimaksud dengan masa seleksi disini ialah masa upaya para mudawwin hadis yang melakukan seleksi secara ketat sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan suatu kitab tadwin.
Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya.

2.    Kitab-Kitab Induk Yang Enam (al-Kutub as-Sittah)
Satu persatu kitab telah berhasil diseleksi ketat itu muncul pada masa ini. Ulama yang pertama kali berhasil menyusun kitab tersebut ialah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardizbahal-Bukhari yang terkenal dengan “al-Bukhari” (194-252H) dengan kitabnya al-Jami ‘ash-Shahih. Kemudian muncul Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Kusairi an-Naisaburi yang dikenal dengan “muslim” (204-261H).
Menyusul kemudian Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq al-Sijistani (202-275H), Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmudzi (200-279H) dan Abu Abdillah bin Yazid bin Majah (207-273H). hasil karya keempat ulama ini dikenal dengan kitab “as-Sunan”.
Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas dapat diurutkan sebagai berikut:
1.      Al-Jami ash-Shahi’h susunan al-Bukhari;
2.      Al-jami ash-Shahih susunan Muslim;
3.      As-Sunan susunan Abu Daud;
4.      As-Sunan susunan at-Turmudzi;
5.      As-Sunan susunan an-Nasa’I; dan
6.      As-Sunan susunan bin Majah

3.    Masa Pengembangan dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab-kitab Hadis
Penyusunan kitab-kitab pada masa kini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pen-tadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada. maka setelah berjalannya beberapa saat dari munculnya kitab as-Sittah, al-Muwaththa malik bin Anas, dan al-Musnad Ahmad bin Hambal, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab-kitab jawani (mengumpulkan kitab-kitab hadis menjadi satu karya), kitab syarah (kitab komentar dan uraiannya), kitab mukhtashar (kitab ringkasan), kitab men-takhrij (mengkaji sanad dan mengembalikan kepada sumbernya), menyusun kitab atharaf (menyusun pangkal-pangkal suatu hadist sebagai petunjuk kepada materi hadist secara keseluruhan) dan penyusunan kitab hadis untuk topik-topik tertentu.
Masa perkembangan hadis yang disebut terakhir ini terbentang cukup panjang dari mulai abad keempat hijrah terus berlangsung beberapa abad berikutnya. Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan islam, yakni fase pertengahan dan fase modern.

C.      Kitab Al-Muwaththa’
Al-muwaththa merupakan kitab paling tua yang sampai ketangan kita. Kitab ini ditulis oleh Imam Malik ibn Anas al-Ashbahy atas perintah Al-Manshur.
Hadis-hadis Al-muwaththa dipandang shahih oleh Malik, berdasarkan pendapatnya memegangi hadits-hadits mursal dan munqhati dalam hadits-hadits yang keadaannya  mursal atau munqhati atau mu’dhal dalam Al-Muwaththa telah didapati sanadnya yang muttashi diluar Al-Muwaththa itu oleh ulama yang berusaha memperhatikan hadits-hadits riwayat malik. Hanya empat buah hadis saja yang tidak dapat sanadnya yang mutthashil diluar Al-Muwaththa.
Menurut perhitungan Al-Abhary, jumlah hadis-hadis dalam Al-Muwaththa baik marfu maupun mauquf ataupun maqthu ada 1.726 buah. Yang musnad diantaranya berjumlah 600 buah, yang mursal 228 buah, yang mauquf berjumlah 613 buah, yang maqthu berjumlah 285 buah.
Banyak sekali ulama yang memberikan perhatiannya kepada Al-Muwaththa. Inilah kitab yang dipelajari oleh Asy-Syafi’y, Muhammad ibn al-Hasan, Ibnu Wahab dan Al-Qasim, dua orang ulama malikiyah yang terkenal. Kitab ini dipelajari juga oleh Yahya ibn Said Al-Qaththan, Abd ar-Rahman ibn Mahdy, Abd ar-Razzaq ibn Humam. Khalifah yang mempelajari kitab ini, diantaranya Harun ar-Rasyid, Al-Amin, Al-Ma’mun.
Diantara persyarahnya ialah Ibnu Abdi al-Barr dalam kitabnya At-Tahmid, Ibnu Araby dalam kitabnya Al-Qabas. Dan kemudian disyarahkan lagi oleh As-Sayuthy dalam kitabnya Kasyf al-Mughaththa dan diringkaskan syarahnya itu dalam kitab Tanwir al-Hawalik. Diantara yang mensyarahkan al-Muwaththa dalam syarah yang agak besar ialah Az-Zarqany dan Ad-Dahwaly dalam kitab Al-Musawwa.
Kitab Al-Muwaththa telah dicetak dengan typografi yang baik dengan diberikan ta’liq yang diringkas serta diterangkan ahli hadits yang turut meriwayatkan hadis dalam Al-Muwaththa itu oleh Al ustad Muhammad Fuad Abd Al-Baqy.
Diantara mukhtasarnya ialah Mukhtashar al-Khaththaby dan Mukhtashar Abu al-Walid al-Bajy.

D.      Kitab Al-Mustadrak
Kitab mustradak ialah kitab yang membukukan hadis shahih yang tidak dibukukan oleh Al-Bukhary dan muslim dalam kitab shahihnya. Kitab mustradak yang terkenal sekali dalam kalangan umat islam ialah Al-Mustadrak. Al-Mustadrak ini telah diringkas oleh Az-Zahaby dengan menerangkan hadis-hadis yang sebenarnya dha’if atau munkar. Dalam Al-Mustradak terdapat sejumlah 100 hadis maudhu.
 
E.       Kitab Mustakhraj
Kitab-kitab Mustakhraj ialah kitab-kitab yang mengambil hadis dari sebuah kitab ulama hadis seperti kitab Al-Bukhary, lalu menyebut satu persatu dengan sanadnya sendiri. Kitab yang paling banyak dibuat kitab mustrakhraj-nya ialah shahih Al-Bukhary dan shahih Muslim.
F.       Kitab Athraf
Yaitu setiap kitab yang hanya menyebutkan sebagian hadits yang dapat menunjukan lanjutan hadits yang dimaksud, kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad satu kitab ataupun sanad dari beberapa kitab. Para penulis biasanya menyusun urutannya berdasarkan musnad para sahabat dengan susunan nama sesuai huruf-huruf hijaiyah, lalu menyebutkan pangkal hadits yang dapat menunjukan ujungnya sepeti hadits nabi: “Kullukum ra’in..”, “Buyinal Islamu’Ala Khamsin..”, dan Al-Imanu Bidh’un wa Sab’una Syu’batan..” , demikian seterusnya.
Diantara kitab-kitab Athraf ialah:
1.         Athraf ash-Shahihaini, karya Al-Hafizh Ibrahim ibn Muhammad ibn Ubaid ad-Dimasyqy.
2.         Athraf ash-Shahihaini karya Abu Muhammad Khalaf ibn Muhammad al-Wasithy, kitab ini lebih baik dari pada yang pertama.
3.         Athraf ash-Shahihaini, karya Abu Nu’aim Ahmad ibn Abdullah al-Ashbahany (430 H)
4.         Athraf ash-Shahihaini, karya Al-Hafizh Al-Asqalany
5.         Al-Asyraf ‘ala Ma’rifah al-A’thraf, sebuah kitab athraf terhadap Sunan al-Arba’ah, karya Abu al-Qasim Ali ibn al-Hasan yang terkenal dengan nama Ibnu Asakir ad-Dimasqy (571 H)
6.         Athraf al-Ghara’ib wal-Afrad, karya Muhammad ibn Thahir Al Maqdisy (570 H), sebuah kitab athraf terhadap Kutub as-Sittah. Kitab ini kurang baik susuannya. Telah ditalkhishkan oleh Muhammad ibn Ali ad-Dimasqy (765 H)
7.         Athraf as-Sittah, karya Al-Hafizh Al-Mizzy, yang telah diikhtisarkan oleh Az-Zahaby
8.         Ith-haf al-Maharah bi Athraf al-‘Asyrah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, sebuah kitab athraf terhadap kitab Al-‘Asyrah.
Sebagaimana dalam periode keenam muncul kitab-kitab athraf yang disusun oleh tokoh-tokoh hadits, maka dalam periode ini tergerak pula beberapa orang ulama menyusun kitab-kitab athraf itu, seperti :
1.         Ith-haf al-Maharah bi Athraf al-‘Asyrah, oleh Ibnu Hajar al-Asqalany.
2.         Athraf al-Musnad al-Mu’tali bi Athraf al-Musnad al-Hanaby, oleh Ibnu Hajar.
3.         Athraf al-Ahadits al-Mukhtarah, oleh Ibnu Hajar al-Asqalany.
4.         Athraf al-Musnad al-Firdaus, oleh Ibnu Hajar.
5.         Athraf as-Shahih Ibni Hibban, oleh Al-Iraqy.
6.         Athraf al-Masanid al-‘Asyrah, oleh Syihabuddin al-Bushiry.
Inilah beberapa usaha penting oleh ulama untuk mengumpulkan hadits, menerbitkannya. Dan dalam periode inilah lahir kitab-kitab syarah hadits yang besar-besar, seperti Fath al-Bari, ‘Umdat al-Qari, Irsyad as-Sari dan lain-lain.


[1]  Tadzkiratul Huffazh hal. 2. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar